Selasa, 04 Maret 2008

ARTI SEBUAH KEBENARAN 03

Mengapa Manusia Harus Mengikuti Naluri, Nurani Dan Akal Sehatnya?


Ada pertanyaan yang terkadang mengusik jiwa manusia, mengapa manusia harus mengikuti nalurinya, nurani dan akal sehatnya? Pertanyaan ini sekilas saja terasa aneh, janggal dan sebenarnya tidak perlu dijawab, tetapi fakta memang membuktikan bahwa ada sebagian manusia yang tidak mengikuti naluri, nurani dan akal sehatnya, sehingga tidak bisa tidak pertanyaan tersebut haruslah dijawab.

Pentingnya Naluri.

Seperti yang telah kita ketahui naluri adalah dorongan-dorongan dalam diri manusia atau kecenderungan hati yang tidak bisa kita tolak keberadaannya. Dorongan-dorongan tersebut telah ditanamkan kuat pada diri manusia sejak lahirnya. Manusia ingin senang, ingin kaya, manusia suka makanan lezat, manusia ingin menikah, manusia suka barang mewah, laki-laki suka wanita, wanita suka laki-laki, ibu cinta dan sayang kepada anaknya, anak cinta kepada ibunya, dan seterusnya. Kalau kita perhatikan adanya naluri ini pada hekekatnya ada setiap makhluk hidup, baik hewan atau tumbuhan. Pada hewan sering disebut dengan instink. Lihatlah binatang, mereka juga kawin, makan, berketurunan. Binatang pun suka kepada makanan yang enak, cobalah seekor itik manila atau entok, misalnya kita kasih makanan yang kurang enak baginya seperti nasi basi, kemudian bandingkan bila suatu saat kita kasih makanan yang dicampur dengan ikan darat, kepiting, pastilah si entok itu akan makan dengan lahapnya. Itu tandanya dia juga suka makanan yang enak. Segala macam binatang kalau kita amati juga sangat cinta dan mengasihi anak-anaknya. Si induk ayam rela bersusah payah untuk mengerami telurnya selama 29 hari, setelah anak-anaknya menetas dia pun mengasuh dengan kasih sayangnya. Bila anaknya mendapat bahaya, dia segera melindunginya, bila hari hujan ditariklah anak-anaknya untuk berteduh di bawah sayapnya. Kenapa binatang juga cinta kepada anaknya? Siapa yang mengajari induk ayam untuk mengasihi dan melindungi anak-anaknya. Itulah naluri, yang setiap manusia dan hewan juga mempunyainya. Pertanyaannya, kenapa manusia harus mengikuti nalurinya?

Jawabannya adalah :

Pertama, Dorongan-dorongan dalam dirinyalah yang begitu kuat sehingga dia tidak kuasa menolaknya.

Manusia memang tidak bisa menahan dorongan naluri tersebut, sehingga terkadang karena begitu kuatnya dorongan tersebut bisa membuat dia nekad berbuat apa saja. Naluri untuk kawin, menikah, berketurunan misalnya, setiap manusia akan merasakan dorongan yang begitu sangat kuat untuk melakukan hal tersebut, yang terkadang bisa menimbulkan kesedihan, frustasi, depresi ketika tidak bisa memenuhinya. Hal itu tidak bisa ditolak, karena memang seperti itulah yang namanya manusia, sebagai makhluk hidup di dunia ini. Setiap laki-laki pasti merindukan wanita sebagai pasangannya, yang akan menjadi tempat menumpahkan cinta, kasih, dan sayangnya, begitu juga sebaliknya wanita. Setiap laki-laki melihat wanita pasti ada ketertarikan yang kuat, begitu juga sebaliknya. Fenomena orang yang berpacaran, berkasih-kasihan, menikah, adalah bukti itu semua. Kalau mereka ditanya kenapa mereka melakukan itu semua, belum tentu mereka bisa menjawabnya. Mungkin ada yang menjawab, ah pokoknya ngikutin orang-orang sebagai manusia yang normal. Sebenarnya jawabannya bukan semata-mata mengikuti normalnya sebagai manusia, tetapi lebih karena adanya naluri dalam dirinya yang mendorong semua itu. Coba saja seandainya ada suatu negara yang melarang penduduknya untuk menikah dan berketurunan. Pastilah terjadi gelombang protes dimana-mana yang menentang kebijakan pemerintah negara tersebut bahkan bisa jadi dengan segera pemerintah negara tersebut akan digulingkan. Enak aja kawin kok dilarang. Kenyataan menunjukkan, tidak ada satupun negara dalam sejarah manusia yang melarang naluri rakyatnya untuk menikah dan berketurunan. Itulah bukti yang menunjukkan betapa kuatnya kekuatan naluri.

Kedua, Akan terjadi ketidakharmonisan, kekacauan, dan ketimpangan ketika manusia tidak memenuhi naluri tersebut.

Naluri dalam diri manusia itu memang teramat kuat sehingga tidak bisa ditahan, ia ibarat air deras yang harus diberikan jalan agar bisa lewat, sekokoh apapun bendungan yang dibuat untuk menahan aliran air tersebut, lama kelamaan bendungan itu bisa jebol dan yang terjadi adalah banjir bandang yang merusakkan segalanya. Lihatlah berapa banyak orang yang depresi, frustasi, bahkan gila sampai bunuh diri gara-gara putus cinta. Beberapa saat silam ada gadis ABG SMP yang bunuh diri karena broken heart. Lihatlah berapa banyak ibu-ibu yang menjadi gila karena kehilangan anak yang sangat dikasihinya, atau menjadi depresi karena tidak bisa punya anak. Itu menunjukkan bila naluri manusia itu tidak tersalurkan akan mengakibatkan ketidakharmonisan, ketimpangan dalam kehidupan manusia. Coba saja seandainya ada manusia yang menahan nalurinya untuk makan, pastilah manusia itu lama kelamaan akan mati. Begitu juga naluri untuk menikah. Memang ada sebagian sekte agama yang mengambil jalan hidup dengan menjauhi segala kesenangan dunia, seperti harta, makanan lezat, wanita, dengan hidup memencilkan diri di gunung-gunung, dengan berpuasa sepanjang waktu dan tidak menikah, seperti biksu dan biarawan/biarawati. Tetapi mereka hanyalah perkecualian, tidak banyak yang suka dengan cara hidup mereka dan untung saja. Coba saja seandainya semua manusia tidak mau menikah dan berketurunan seperti mereka, pastilah generasi makhluq manusia akan mati dan sudah sejak kemarin-kemarin generasi manusia akan punah. Sesungguhnya setiap manusia memang diberikan naluri sebagai kelengkapan dirinya untuk bisa hidup di dunia ini. Dengan naluri tersebut manusia bisa hidup dan berkembang serta membangun peradaban. Naluri untuk makan akan menjaga kelangsungan hidup manusia, naluri untuk kawin akan menjaga kelangsungan proses regenerasi, naluri untuk selalu ingin tahu membuat manusia selalu belajar dan mempelajari segala sesuatu sehingga terciptalah ilmu pengetahuan. Adanya peradaban, kebudayaan manusia yang semakin maju dengan segala dinamikanya adalah sebenarnya buah dari naluri manusia itu sendiri.

Pentingnya Nurani

Nurani atau suara hati dalam diri manusia adalah kelengkapan kedua setelah naluri. Inilah yang membedakan manusia dengan binatang. Nurani atau suara hati adalah bisikan-bisikan yang selalu timbul dalam diri manusia yang menunjukkan kepada nilai kebenaran, kebaikan. Nuranilah yang juga menahan manusia dari keinginan untuk berbuat kejahatan. Jangan, jangan kamu lakukan itu, kamu nggak boleh begitu, kamu harus begini. Nuranilah sebagai tempat menimbang antara yang baik dan yang buruk. Keberadaan nurani dalam diri manusia disamping untuk menuntun kepada kebenaran dan kebaikan, tetapi juga berfungsi untuk mengontrol naluri manusia. Naluri itu seperti nafsu manusia yang sifatnya tidak pernah puas. Maka untuk menyeimbangkannya, manusia diberi nurani. Inilah yang menaikkan derajat manusia diatas binatang, karena binatang hanya dibekali dengan naluri, maka dia akan hidup dengan seenak perutnya sendiri. Tidak heran kalau binatang selalu makan apa saja, tidak peduli punya siapa, mencuri atau tidak mencuri. Binatang seperti ayam misalnya, dia akan kawin dengan siapa saja, tidak peduli itu saudaranya sendiri atau bekas induknya sendiri. Itulah binatang yang cuma mengikuti nalurinya, berbeda dengan manusia, nurani manusialah yang pasti melarang manusia untuk mencuri, atau menikahi saudara dan ibunya sendiri. Kalau manusia dilepas tanpa kontrol nurani, bagaikan binatang yang cuma mengikuti nalurinya, pastilah akan terjadi ketidakharmonisan, kekacauan, kerusakan kehidupan. Coba saja seandainya manusia tidak punya nurani, mereka akan saling mencuri, merampok, membunuh, memperkosa, sehingga rusaklah masyarakat. Dimanapun, orang yang disebut dengan preman, penjahat, pemerkosa pastilah tidak disukai orang. Mereka akan dianggap biang kerok, sampah masyarakat. Kenapa masyarakat tidak suka, itulah karena pada dasarnya nuranilah yang mendorong sikap manusia seperti itu, yang pada dasarnya suka kepada kebenaran, kebaikan, keteraturan hidup dan tidak suka kepada kejahatan dan kekacauan. Nurani terhadap nulari ibarat tali kekang bagi binatang liar.

Pentingnya Akal.

Akal adalah alat pelengkap ketiga yang diberikan kepada manusia. Akal inilah yang membedakan manusia dengan binatang. Akal inilah yang menjadikan manusia mampu merubah dunia, membangun peradaban, menciptakan kebudayaan. Manusia sebenarnya mahluq yang lemah, banyak binatang yang kekuatannya melebihi kekuatan manusia. manusia juga teramat lemah bila dibanding dengan kekuatan alam. Tetapi manusia mempunyai akal, dengan akal itulah manusia mampu terbang tinggi di udara bahkan sampai angkasa luar melebihi semua burung yang paling hebat sekalipun. Manusia memang tidak sekuat kerbau atau kuda, tetapi dengan akalnya manusia mampu menciptakan alat yang jauh lebih kuat daripada kerbau. Manusia memang tidak seganas dan sekuat harimau atau singa, tetapi dengan akalnya manusia mampu menciptakan senjata yang bisa membunuh jutaan harimau atau singa sekaligus. Itulah hebatnya akal.

Meski kita telah menyadari betapa pentingnya akal, ternyata sebagian manusia masih ada yang mempertanyakan pentingnya akal. Dan masih ada yang tidak mau menggunakan akal sehatnya, sampai dalam soal keyakinan, agama dan ideologinya. Seorang filosof pernah berkata,”Saya percaya kepada agama justru karena ketidakmasukakalanny atau karena ada ajarannya yang tidak masuk akal. Pernyataan sang filsuf masih perlu ditanyakan lagi apakah murni dari perenungannya secara mendalam ataukah hanya sebentuk perkataan untuk menghibur hatinya karena agama yang dianutnya ada yang tidak masuk akal. Karena kalau sebatas mengikuti suatu agama tanpa melalui proses berpikir bukankah sama saja dengan keyakinan yang membabi buta?

Itulah masih banyak manusia di dunia ini yang menganut suatu keyakinan yang tidak masuk logika, tidak bisa dipahami dengan akal yang sehat. Saya justru percaya tentang keyakinan karena justru ketidakmasukakalannya, demikian kata salah seorang dari mereka. Itulah segelintir manusia yang tidak mengerti alasannya kenapa manusia harus menggunakan akal sehatnya.

Kenapa manusia harus menggunakan akal sehatnya? Inilah yang harus dijawab :

Pertama,

Seperti yang telah kita ketahui, adanya nurani dan akallah yang membedakan manusia dengan binatang, menjadikan manusia berderajat lebih tinggi daripada binatang. Maka sudah sewajarnya manusia menggunakan akalnya agar bisa berbeda dengan binatang, apa mau dikatakan sebagai binatang? Lantas apa bedanya manusia dengan binatang, kalau tidak mau menggunakan akalnya? Binatang kadang berbuat semaunya, makan apa saja tidak peduli dari hasil mencuri atau merampas milik temannya. Binatang pun kawin seenak perutnya, seperti ayam jago yang dengan cueknya mengejar-ngejar si betina, kemudian menerkam, dan ‘memperkosanya” ditengah jalan. Itulah binatang yang tidak bisa membedakan mana yang baik, mana yang buruk, mana yang bermanfaat, mana yang membahayakan, mana yang memalukan, mana yang tidak memalukan. Manusia harus bersikap sebagai manusia yang menempatkan dirinya sebagai manusia yang mempunyai naluri, nurani, dan akal.

Kedua,

Akal juga berfungsi membedakan antara orang waras dengan orang gila. Kenapa orang bisa gila? Karena akalnya sudah tidak bisa berfungsi, tidak bisa berpikir, tidak punya rasa malu, tidak punya perasaan. Makanya jangan heran kalau orang gila kemana-mana enjoy saja tidak pakai pakaian. Coba saja seandainya anda disuruh berpidato di depan ribuan orang tetapi dengan tanpa busana. Pasti anda tidak mau. Eh lu jangan gila ya kenapa nyuruh gua pidato tanpa pakaian. Nah tuh, yang diperintah malah nuduh gila sama yang memerintah.

Ketiga,

Dengan akal manusia bisa berpikir, mengamati, meneliti, menganalisa, menimbang-nimbang, menilai mana yang baik mana yang buruk, mana yang bermanfaat, mana yang membahayakan. Itulah gunanya akal. Ketika anda disuruh seseorang pergi ke Jakarta dari Magelang dengan naik bis dalam waktu lima jam harus sampai, pasti anda mengatakan tidak masuk akal. Anda bisa mengatakan demikian karena anda berpikir, menganalisa bahwa biasanya naik bis dari Magelang ke Jakarta itu minimal 12 jam, bagaimana lima jam harus sampai?

Dengan akal manusia bisa membedakan mana yang baik dan bermanfaat, mana yang buruk dan membahayakan. Manusia tahu kalau mencuri, korupsi, membunuh adalah perbuatan yang buruk karena dampaknya merugikan bagi kehidupan masyarakat. Manusia mau minum susu karena tahu minuman susu itu bermanfaat bagi tubuh, sebaliknya manusia menjauhi minuman keras karena membahayakan bagi tubuh. Coba saja seandainya semua manusia berbuat semaunya sendiri, tidak menggunakan akalnya seperti orang gila dan binatang, tidak peduli mana yang baik mana yang buruk, mana yang bermanfaat mana yang membahayakan, tentunya kehidupan akan rusak, kacau balau tidak karuan. Banyak negara besar di dunia ini yang mempunyai senjata nuklir dan pemusnah massal lainnya, tetapi belum ada satupun yang berani menggunakannya untuk berperang. Karena mereka masih menggunakan akal sehatnya, mereka tahu kalau senjata tersebut digunakan, pastilah dunia ini akan hancur dan riwayat kehidupan manusia akan tamat begitu saja. Ketika ada dua orang yang berdiri di atas jurang, yang satu seorang balita, sementara yang satu seorang mahasiswa, pastilah ada perbedaan sikap di antara keduanya. Si balita itu mungkin bisa saja berjalan mendekat ke bibir jurang dan tercebur ke dalamnya karena dia tidak bisa berpikir, dia tidak tahu kalau jurang itu bisa membahayakan jiwanya. Sementara si mahasiwa tentu akan berpikir dua kali untuk mendekat-dekat ke bibir jurang, dia tahu kalau bisa terjatuh, dan itu berarti dia akan mati.

Keempat,

Manusia memang sudah memiliki naluri dan nurani, tetapi itu tidak cukup bagi manusia untuk mengarungi kehidupan ini. Naluri, nurani lebih dekat ke perasaan, jiwa, intuisi, imaginasi tetapi akal lebih berpijak kepada kenyataan/realita. Seorang pemalas dia akan berkhayal, berimaginasi menjadi orang kaya, punya rumah mewah, mobil bagus, dengan itu dia mungkin bisa berbahagia sejenak. Tetapi itu hanya perasaannya, yang timbul dari imaginasi kreatifnya, sementara realitas mengatakan dia masih tidur di kasurnya yang lusuh dan tinggal di rumahnya yang kotor. Maka naluri, nurani, perasaan saja tidak cukup, si pemalas itu harus berpikir sesuai realita, kalau dia ingin kaya, dia harus bekerja keras, jangan cuma menunggu bintang yang jatuh saja.

Sebagian sekte agama juga lebih mengutamakan naluri, nurani, perasaan, intuisinya. Di India ada sekte agama Hindu yang menengadahkan tangannya bertahun-tahun untuk menguji ketabahan hatinya. Sidharta Gautama dalam perjalanan spirituilnya pernah bertapa dengan tidak mau makan minum sampai hampir mati, tidak mau mandi sampai dakinya jatuh dengan sendirinya.[1] Bahkan yang lebih ekstremnya adalah sekte Jainisme cabang agama hindu di India yang menjalani kehidupan spirituilnya dengan ber’busana udara’ alias hidup dengan bertelanjang tanpa pakaian. Sekilas orang mungkin sudah berkomentar, gila, bagaimana bisa begitu, tidak masuk akal dan berbagai komentar lainnya. Tetapi mereka yang menjalaninya meyakininya sebagai kebenaran. Kalau mereka ditanya kenapa telanjang bisa kalian katakan sebagai ritual kebenaran? Mereka pun mungkin menjawab, kami tidak telanjang, tetapi kami ber’busana udara’, udara juga berasal dari alam, pakaian yang kalian kenakan juga berasal dari alam, apa bedanya? Kalau kalian mengambilnya dari tumbuhan atau hewan, maka kami mengambilnya dari udara. Kalau mereka ditanya lagi, bukankah kalau begitu sama saja dengan binatang, kenapa kalian tidak hidup dengan binatang saja? Mereka mungkin menjawab, binatang dan manusia sebenarnya sama saja, semuanya makhluq Tuhan. Bagi kami, binatang juga saudara kami. Begitulah, mereka mungkin akan menjawab dengan berbagai alasan yang ‘indah’. Tetapi pada hakekatnya mereka itu hanya mengikuti naluri keagamaannya, nuraninya, perasaan ditambah dengan imaginasi dan khayalan rusaknya. Mereka mungkin merasa bahagia dan yakin dengan kebenarannya tetapi itu hanyalah perasaan jiwanya, sementara mereka sendiri tidak menggunakan akal sehatnya. Coba saja kalau mereka mau berpikir, bukankah dengan tidak makan minum mereka akan mati, dengan tidak mau mandi maka kotoran dan segala bibit penyakit akan menempel. Bayangkan saja kalau di jaman modern di tengah perkotaan, ada yang menganut keyakinan seperti, tidak mau mandi sampai dakinya menumpuk dan bau badan busuk kemudian berangkat kerja ke kantor dengan ber’busana udara’. Dilihat dari segi kesehatan saja jelas bisa membuat penyakitan, masuk angin, perut kembung, maag dan sebagainya. Kalau seandainya semua manusia mengikuti agama mereka, pastilah yang paling berbahagia adalah binatang dan orang gila, karena mempunyai teman baru. Mereka itu hanya mengikuti khayalan rusaknya, tetapi tidak mau menggunakan akal sehatnya. Bagaikan orang yang berdiri di bibir jurang yang dalam dengan batu-batu tajamnya, mereka mengkhayalkan dirinya kalau mereka melompat ke jurang maka mereka akan terbang seperti burung di angkasa dengan bebasnya. Tetapi manakala mereka mencoba melompat, hukum gravitasi menariknya ke dasar jurang dan melumatkan tubuhnya di batu-batu yang tajam. Masih banyak orang yang mengikuti keyakinan, ideology, agama dengan tidak menggunakan akal sehatnya. Mereka hanya mengikuti perasaannya, fanatisme buta, dan ikut-ikutan dengan tradisi nenek moyangnya tanpa mau berpikir jernih.

Sesungguhnya banyak sekali dalil dan bukti yang menunjukkan betapa pentingnya akal. Menggunakan akal sehat, berpikir, menganalisa adalah hal yang naluriah yang menjadi pembawaan manusia sejak lahir. Adanya ilmu pengetahuan, sekolah, pendidikan menunjukkan pentingnya akal. Dalam suatu perdebatan apapun bentuknya dan dalam bidang apa saja baik debat ilmiah, musyawarah, diskusi, debat politik, orang akan cenderung menggunakan argumentasi yang masuk akal, ilmiah yang bisa dinalar sehingga pendapatnya bisa diterima orang lain. Itulah bukti pentingnya akal. Ketika anda ditodong seseorang dengan pisau tentulah anda akan berpikir bahwa orang itu mempunyai niat jahat kepada anda. Lain misalnya ketika anda ditodong dengan roti yang empuk, tentunya anda berpikir bahwa orang itu tentunya tidak mempunyai niat jahat kepada anda, kecuali kalau anda tahu bahwa roti itu berracun. Nah, dari peristiwa tersebut manusia secara naluriah akan mengambil sikap yang berbeda berdasarkan analisa berpikirnya. Itulah bukti pentingnya akal, dan sebenarnya memang banyak sekali bukti-bukti di alam nyata ini tentang pentingnya menggunakakan akal yang sehat. Maka jelaslah peranan akal itu sangat penting dalam segala sisi kehidupan manusia, apa ada yang masih mempertanyakan pentingnya akal?



[1] Agama-Agama Manusia, Huston Smith, Yayasan Obor Indonesia, Edisi Keenam April 2001, Jakarta hal 147-148, dikutip dari E.A. Burtt Ed., The Teaching Of The Comassionate Buddha (New York : Mentor Books, 1995), hlm. 49-50.

Tidak ada komentar: