Selasa, 04 Maret 2008

Bank Syariah - Bank Syariah Tidak Syariah?


Bank Syariah Tidak Syariah?


Bank syariah tidak syariah?….Ada sebaris pernyataan dan pertanyaan yang keluar dari lisan masyarakat, dari berbagai kalangan dan golongan. Ucapan yang terlontar baik melalui media formal, media cetak, televisi, internet, seminar, atau hanya sekadar obrolan ringan di warung kopi sambil memakan sepiriing gorengan. Masyarakat Indonesia sekarang ini memang telah menuju masyarakat yang kritis, yang tidak bisa dibodohi begitu saja, yang begitu saja bisa terpukau oleh slogan dan kemasan yang memikat tanpa melihat isi yang sebenarnya. Pepatah mengatakan,”anda dapat membodohi semua orang dalam suatu saat atau membodohi satu orang dalam semua saat, tapi anda tidak dapat membodohi semua orang dalam semua saat.” Ketika dalam masyarakat timbul perbincangan hangat mengenai bank syariah seketika terlintas suatu pertanyaan. Apakah bank-bank syariah tersebut benar-benar sudah menjalankan syariah dalam transaksinya? Ataukah hanya sebagai kamuflase alias hanya sebagai strategi bisnis saja dengan berkedok syariah? Lalu bagaimana perbedaannya dengan bank konvensional? Entah pertanyaan tersebut dilatarbelakangi pemikiran pro atau skeptis, yang pasti bank syariah menghadapi tantangan besar untuk bisa membuktikan komitmen syariahnya…….

Bank syariah tidak syariah?….pernyataan dan pertanyaan ini terlontar bukan secara tiba-tiba tanpa ada sebabnya. Seperti peluru yang tidak mungkin meluncur kalau pelatuknya tidak ditarik. Mungkin ada beberapa kalangan masyarakat yang telah melihat beberapa praktek bank syariah yang ternyata tidak syariah. Saya melihat yang paling banyak mendapat sorotan masyarakat adalah akad pembiayaan murabahah. Banyak masyarakat yang menilai bahwa praktek murabahah bank syariah cenderung ke riba nasi’ah, karena adanya tambahan dalam pengembalian utangnya. Pernyataan masyarakat ini bisa dipahami dua hal :

  • YANG PERTAMA belum pahamnya kebanyakan masyarakat tentang akad murabahah yang dilakukan bank syariah dan perbedaannya dengan transaksi utang riba pada bank konvensional.

  • YANG KEDUA memang jalannya sebagian akad murabahah tersebut tidak memenuhi syarat-syarat murabahah alias murabahah-murabahahan, yang dimaksud berlabel murabahah tetapi tidak memenuhi syarat murabahah sehingga menjadi riba nasi’ah.

Ketika saya bekerja dalam sebuah bank syariah terkemuka di tanah air, saya melihat ternyata pernyataan-pernyataan masyarakat tersebut sebagian ada benarnya. Ternyata memang bank syariah sebagian tidak syariah. Selama saya bekerja di bank syariah saya melihat sebagian transaksi pembiayaan bank syariah memang tidak sesuai syariah sehingga cenderung ke riba nasi’ah. Terutama mengenai pembiayaan murabahah. Saya menilai bahwa akad murabahah yang dilakukan cenderung murabahah-murabahahan alias hanya namanya saja yang murabahah tetapi tidak memenuhi syarat akad murabahah seperti yang difatwakan Dewan Syariah Nasional. Contohnya sebagai berikut tujuan penggunaan murabahah yang untuk pembelian barang ternyata bukan untuk beli barang, tetapi malah buat keperluan sehari-hari, bayar sekolah dll. Contoh yang kedua yang tidak memenuhi syarat murabahah adalah tidak lengkapnya rukun-rukun murabahah seperti yang ditegaskan Dewan Syariah Nasional (DSN). Seperti misalnya salah satu rukun murabahah adalah bahwa uang tidak boleh diserahkan langsung oleh bank kepada nasabah yang mengajukan pembiayaan murabahah, tetapi harus diserahkan ke supplier/pemasok barang. Contoh yang paling jelas dari dua hal tersebut adalah akad kerjasama antara bank syariah dan koperasi-koperasi dengan sistem mudharabah wal murabahah, mudharabah dari bank ke koperasi, murabahah dari koperasi ke anggota koperasi. Selama menjadi staf marketing saya mengamati bahwa banyak terjadi penyimpangan syariah pada akad murabahah koperasi tersebut, dikarenakan akad murabahah yang dilaksanakan tidak memenuhi syarat murabahah sesuai fatwa DSN dengan kata lain murabahah-murabahahan. Letak kesalahannya adalah seperti yang telah saya uraikan di atas yaitu :

  • Pertama, akad murabahah yang sifatnya jual beli, tetapi kenyataannya yang saya lihat banyak yang bukan untuk beli barang, tetapi untuk keperluan sehari-hari seperti bayar sekolah, biaya nikah, biaya pendidikan dll. Kalau demikian dimana letak murabahahnya? Atau jual belinya? Bukankah sebagaimana dijelaskan dalam ilmu fiqh bahwa rukun jual beli itu adalah ada penjual, pembeli dan BARANG yang diperjualbelikan? Fiqh memang tidak melarang jual beli secara kredit (Ba’i Al Muajjal) asalkan tidak mengandung riba, disamping itu komplet rukun dan syaratnya. Kalau sekarang jual beli tersebut dilakukan secara kredit dan diangsur seperti hutang padahal tidak lengkap syarat rukunnya sehingga tidak sah, apakah tetap dinamakan JUAL BELI bukan RIBA NASI’AH?

  • Kedua, tidak tidak terpenuhinya rukun-rukun akad murabahah pada koperasi tersebut sesuai dengan fatwa DSN. Seperti yang telah ditegaskan dalam fatwa DSN bahwa salah satu rukun murabahah adalah uang tidak boleh diserahkan langsung dari bank (koperasi) ke nasabah (anggota koperasi) tetapi seharusnya uang tersebut diserahkan oleh bank kepada supplier (pemasok). Tetapi saya lihat praktek murabahah pada koperasi, koperasi sebagai mitra kerja bank banyak yang menyerahkan langsung ke anggota yang mengajukan pembiayaan, tidak diserahkan ke supplier (pemasok barang). Disinilah letak kesalahannya, kalau mekanisme transaksinya seperti ini, maka hal ini bukan jual beli secara tangguh, tetapi lebih mirip ke pemberian utang untuk beli barang kemudian diberi tambahan (margin), sehingga lebih mirip ke riba nasi’ah. Harusnya ada perbedaan baik dari definisinya maupun mekanisme transaksinya antara utang berbunga baik untuk beli barang atau tidak dengan jual beli murabahah yang bermargin. Kalau tidak ada perbedaan, lalu apa bedanya jual beli dan riba? Bukankah Allah telah menegaskan,”Wa ahalallahu ba’ia waharrama riba”. Walaupun kalangan perbankan syariah berargumentasi dengan prinsip wakalah bahwa nasabah yang mengajukan pembiayaan untuk pembelian barang diberikan kuasa oleh bank atau sebagai perwakilan bank untuk membeli barang sendiri, tetapi menurut pertimbangan saya penerapan konsep wakalah seperti ini menjadi rancu walau dengan alasan kemudahan, karena menjadi sesuatu yang bias karena tidak bisa dibedakan mana yang sebenarnya penjual mana yang pembeli. Dalam penerapan konsep wakalah tersebut terlihat bahwa pembeli sekaligus penjual, membelikan barang untuk dijual untuk dirinya sendiri, bagamana ini? Alangkah baiknya biar lebih aman kalau mengikuti ketentuan DSN bahwa uang tidak boleh diserahkan langsung ke nasabah yang mengajukan pembiayaan, kalaupun memakai konsep wakalah hendaknya yang menjadi perwakilan bank adalah orang ketiga yang membelikan barang yang dibutuhkan nasabah, sehingga akad jual beli murabahah menjadi jelas, mana pembeli, mana penjual. Pembeli tetap melakukan fungsinya menjadi pembeli barang bukan malah sebaliknya, begitu juga penjual melakukan fungsinya sebagai penjual barang yang mencarikan barang untuk dijual kepada pembeli. Demikianlah yang seharusnya, saya yakin semuanya bisa dijalankan kalau kita mempunyai niat dan kemauan yang kuat, sesuatu yang tampaknya sulit akan menjadi mudah, tinggal bagaimana kita merumuskan sistemnya[1] Saya khawatir bahwa konsep wakalah dengan alasan kemudahan tersebut merupakan perangkap syetan untuk menjadikan transaksi yang tadinya jelas dan halal menjadi tidak jelas, syubhat, bahkan bisa jadi menjurus ke haram dan riba. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim Al Jauziyah dalam kitabnya Talbisul Iblis, bahwa salah satu strategi iblis/syetan dalam menyesatkan manusia adalah menawarkan kepada hal-hal yang syubhat, yang tidak jelas halal haramnya, atau menyamarkan sesuatu yang tadinya jelas menjadi tidak jelas. Hendaknya kita selalu berhati-hati dengan tipu daya syetan, dan bersikap wara saja.’, menghindar dari hal-hal yang syubhat.

Tetapi yang menjadi pertanyaan mengapa akad kerjasama dengan koperasi yang RAWAN penyimpangan syariah tersebut justru menjadi andalan bisnis bank syariah, seakan tidak ada peluang bisnis atau terobosan bisnis yang lain? Dan mengapa juga akad kerjasama dengan koperasi yang rawan penyimpangan syariah tersebut dijadikan ujung tombak bagi para staf marketing yang diterjunkan ke daerah-daerah? Sehingga efek negatifnya secara otomatis menjadi promosi bahwa bank syariah ternyata tidak syariah. Inilah yang kemudian menambah persepsi masyarakat yang menganggap bank syariah tidak syariah……

Sebenarnya kalau saya amati ada beberapa hal yang menyebabkan akad kerjasama murabahah koperasi tersebut tidak sesuai syariah, yaitu :

  • Sistem kerjasama antara bank dan koperasi yang memakai model EXCUTING dimana koperasi bertindak sebagai pelaksana penuh akad murabahah, dengan kata lain koperasi bertindak sebagai mudharib atau mitra kerja. Sementara pihak koperasi belum bisa sepenuhnya memahami dan menerima sistem syariah, dan mereka sendiri masih terbiasa dengan sistem riba yaitu bunga. Maka akibatnya bisa kita saksikan sendiri. Seharusnya sistem yang tepat untuk koperasi yang masih awam syariah lebih tepatnya yaitu sistem CHANELLING, dimana koperasi tidak berwenang penuh.

  • Sebab kedua yaitu pihak marketing sebagai perwakilan Bank syariah kurang menjelaskan secara detail dari sisi syariahnya. Ada kecenderungan bahwa sebagian dari mereka kurang memperhatikan sisi syariah dengan kata lain mungkin menganggap enteng, kurang mementingkan atau kurang memperdulikan, ataukah bisa jadi kebanyakan pihak marketing sendiri banyak yang belum paham fiqh, belum paham antara perbedaan RIBA dan JUAL BELI?

Bank syariah tidak syariah?….Saya kadang juga melihat bahwa banyak pembiayaan yang tidak disesuaikan dengan karakter dan sifat akad yang sebenarnya. Yang dimaksud seperti : yang seharusnya pembiayaan tersebut lebih pas dengan akad mudharabah tetapi malah dilakukan dengan akad murabahah. Sementara yang lain kadang kurang pandai dalam menerapkan akad, yang dimaksud seperti : ada transaksi hiwalah atau pengalihan utang yang terjadi dari akad qardhul hasan wal murabahah, artinya mengambil alih hutang dengan akad qardhul hasan kemudian mengambil akad murabahah dari qardhul hasan tersebut. Bukankah transaksi demikian cacat dari segi fikih, karena walau bagaimanapun murabahah adalah jual beli barang, bukan jual beli utang atau uang, bukankah dalam prinsip ekonomi Islam uang dan utang bukan commodity yang bias diperjualbelikan?…….

Bank syariah tidak syariah?Memang demikianlah kenyataan yang sebenarnya perjalanan bank syariah di Indonesia. Kadang saya merasakan seperti ada kecenderungan pemikiran yang mendominasi para bankir syariah entah itu pihak managemen atau para marketing, bahwa seolah-olah bank syariah hanya mementingkan pembiayaan yang memberikan kepastian yaitu yang bersifat natural certainty contracts seperti akad jual beli (murabahah, istisna, salam) dan akad sewa (ijarah). Terutama sekali murabahah, saya lihat baik dari laporan keuangan atau dari file-file pembiayaan, bahwa akad yang mendominasi atau yang paling banyak memberikan kontribusi ke pendapatan bank adalah akad murabahah. Bahkan kadang anehnya saking ngetrendnya murabahah, akad-akad yang seharusnya bukan murabahah dimurabahahkan. Seolah yang ada dalam kepala hanya murabahah terus. Kenapa bisa demikian………

  • Sebabnya bisa jadi walahu a’lam mungkin karena kebanyakan orang yang duduk di top management atau para marketing kebanyakan adalah orang yang berasal dari bank konvensional, sehingga pemikirannya masih terbawa pemikiran konvensional yang dalam mencari pendapatan bank adalah semuanya berasal dari pengucuran kredit yang harus memberikan kepastian pengembalian. Kalau memberi utang ya harus ada tambahannya. Padahal jangan lupa pendapatan bank syariah itu ada dua macam, yang bersifat natural certainty contracts seperti akad jual beli dan sewa, dan yang bersifat natural uncertainty contracts, yaitu pembiayaan yang tidak memberikan kepastian pengembalian, yaitu dengan akad bagi hasil (mudharabah, musyarakah). Inilah perbedaannya dengan bank konvensional. Maka dari itu kadang bank syariah dinamakan bank bagi hasil.

  • Sebab kedua bisa jadi wallahu a’lam skill dan knowledge kebanyakan dari top management dan para marketing dalam ilmu perbankan syariah dan ilmu fikih masih minim. Mungkin yang mereka kuasai betul-betul baru pembiayaan murabahah. Sehingga ketika mau menerapkan akad lain seperti istisna, mudharabah, musyarakah mengalami kebingungan dikarenakan belum terbiasa. Atau karena kelemahan mereka dalam ilmu fikih sehingga mereka sendiri belum bisa menentukan kira-kira apa akad yang pas untuk setiap pembiayaan yang diajukan. Bila demikian alangkah baiknya kalau pihak bank syariah mengirim orang-orangnya untuk belajar ke orang-orang perbankan syariah yang bergerak dalam bidang keilmuan seperti Sekolah Tinggi Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi Syariah, Karim Business Consulting, Tazkia Institute atau lebih bagus lagi ke luar negeri seperti Timur Tengah untuk belajar ke Uninersitas Al Azhar misalnya atau melakukan studi banding ke bank-bank syariah di sana…fas’aluu ahladzdzikrii inkuntum laa ta’lamuun…..

Bank syariah tidak syariah?…. Selama saya bekerja di bank syariah, saya seringkali menghadapi tantangan dari berbagai orang yang mengajukan pertanyaan kritis yang berharga,”Apa bank syariah sudah menjalankan syariah secara benar dalam transaksinya?”…atau pertanyaan lain,”Saya dengar bank syariah hanya namanya saja, tetapi prakteknya sama saja dengan bank konvensional, yaitu sama-sama ada bunganya, apakah benar demikian?”…..atau pertanyaan lain,”Katanya istilah bagi hasil itu hanya istilah yang memperhalus bunga ya mas?”…. Suatu saat saya juga menjumpai pernyataan keras dari sebuah Majalah Islam Ar Risalah Edisi Jumadil Akhir-Rajab 1425 H/Agustus 2004 pada rubrik As’ilah bahwa dalam prakteknya ternyata bank syariah tetap mengambil bunga dalam pengembalian utangnya, alias ada tambahan dalam pengembalian utangnya, sehingga transaksi demikian dalam bank syariah tersebut dihukumi haram dan termasuk riba nasi’ah. Menghadapi pertanyaan dan pernyataan yang keras dan kritis dari berbagai kalangan masyarakat tersebut dan setelah saya menyaksikan praktek bank syariah itu sendiri, saya hanya bisa bersedih hati. Di satu sisi saya sadari bahwa banyak masyarakat yang belum paham tentang konsep sebenarnya dari bank syariah dan perbedaannya dengan bank konvensional, di sisi lain saya melihat bahwa pernyataan masyarakat tersebut sebagian ada benarnya. Yang bisa saya lakukan hanyalah menjelaskan sebenarnya tentang konsep bank syariah dan perbedaannya dengan bank konvensional, pengertian bagi hasil dan perbedaannya dengan bunga. Kemarin itu semua saya lakukan disamping kewajiban saya sebagai pegawai bank syariah, tetapi lebih dari itu saya tidak ingin bank syariah tidak mendapat dukungan dari umat Islam sendiri….INILAH YANG PATUT DIKHAWATIRKAN !……..

Bank syariah tidak syariah?….Ada satu hal juga yang mengakibatkan masyarakat cenderung mengecap bank syariah tidak syariah, yaitu penerapan metode penghitungan angsuran murabahah dengan metode penghitungan angsuran yang mengkonversi metode bunga pada bank konvensional, yaitu dengan metode seperti flat, efektif, sliding, dan lain-lain.[2] Banyak kalangan seperti misalnya Dr. Setiawan Budi Utomo, anggota Dewan Syariah Nasional yang tidak setuju dengan metode seperti itu, sebagaimana tulisannya dalam kata pengantar buku “Bunga Bank Haram” karya Dr. Yusuf Al Qardhawi. Menurut beliau hal ini termasuk penyimpangan syariah yang semestinya perbankan syariah mencari alternatif benchmark yang lebih syariah. Secara pribadi saya setuju dengan pendapat dari Dr. Setiawan Budi Utomo tersebut walaupun sebagian kalangan perbankan syariah justru mendukung metode konversi kredit dari bank konvensional tersebut seperti Ir. Adiwarman Karim sebagaimana diuraikan dalam bukunya “Bank Islam Analisis Fiqih Dan Keuangan”. Saya memahami bahwa metode konversi kredit dari bank konvensional tersebut tersebut hanya merupakan metode untuk menentukan harga jual, dan mungkin pemakaian metode tersebut hanya untuk memudahkan dalam bersaing dengan bank konvensional. Tetapi saya lihat efeknya dalam masyarakat adalah timbulnya persepsi bagi masyarakat bahwa bank syariah sama saja dengan bank konvensional, kalau pinjam sekian dengan tingkat margin 17,5% efektif atau 0,8 % flat maka angsurannya nanti sekian-sekian. Lebih-lebih bila pihak marketing hanya menjelaskan bahwa margin kami 0,8 % flat sebulan, tanpa menjelaskan secara detail pengertian murabahahnya. Akibatnya timbul persepsi bahwa bank syariah hanya mengganti istilah bunga dengan margin. Dan begitulah, mungkin pemakaian metode konversi kredit dari bank konvensional yang dimaksudkan untuk kemudahan dalam persaingan tetapi akibatnya malah menjadi bumerang bagi bank syariah itu sendiri, sehingga resiko yang didapatkan malah lebih besar, nama baik bank syariah menjadi tercemar. Alangkah baiknya kalau bank syariah menciptakan metode khusus dalam penentuan harga jual dan metode angsuran murabahah dengan berdasar analisis biaya riil misalnya, tidak hanya sekedar mengcopy dari bank konvensional. Sebagaimana umumnya penjual/produsen bahwa penentuan atas harga jual produknya biasanya didasarkan atas perhitungan biaya yang dia keluarkan untuk memperoleh/memproduksi barang tersebut kemudian ditambah sedikit dengan tingkat profit yang dia harapkan. Berbeda misalnya dengan metode penentuan harga jual dan metode angsuran murabahah yang selama ini dilakukan oleh bank syariah, yang menghitungnya berdasar dari pokok pinjaman/plafond, sehingga memang terkesan bahwa metode seperti itu berpijak pada suku bunga. Walaupun tidak dimaksudkan demikian tetapi efek yang terjadi memberi peluang terjadinya missunderstanding dari masyarakat. Sebaiknya memang bank syariah menggunakan metode yang jelas dan berbeda, menghindari yang samar, remang-remang yang justru akan memberikan persepsi yang tidak diharapkan. Sebaiknya merujuk seperti arahan dari para fuqaha sebagaimana dalam kitab-kitab fiqh yang membahas masalah murabahah, bahwa penentuan harga jual berdasarkan analisis biaya riil, bukan …. menghitungnya berdasar pokok pinjaman/plafond…

Sebagai keterangan tambahan, ada satu hal lagi yang hendaknya menjadi bahan pemikiran bank syariah khususnya di Indonesia, walau hal ini sebenarnya bukan penyimpangan syariah, yakni mengenai konsep tabungan/deposito mudharabah dalam bank syariah. Semua bank syariah di tanah air ini memang memakai prinsip mudharabah dalam produk tabungan dan depositonya. Hal ini dimaklumi karena ini sebagai daya tarik bisnis dan sebagai kekuatan dalam bersaing khususnya dengan bank konvensional. Tetapi adakalanya bagi sebagian ummat Islam, produk tabungan/deposito mudharabah ini masih dipertanyakan kehalalannya yaitu dengan adanya ‘tambahan’ nisbah bagi hasil tersebut. Dalam berbagai kesempatan saya telah berulangkali menjelaskan banwa nisbah bagi hasil tersebut bukan riba seperti di bank konvensional. Saya jelaskan perbedaannya secara prinsip, tetapi banyak ummat Islam yang tidak menerima penjelasan saya tersebut dan masih ngotot beranggapan bahwa tambahan nisbah tersebut adalah riba. Akhirnya mereka mengambil kesimpulan berbahaya bahwa bank syariah sama saja dengan bank konvensioal yaitu sama-sama riba dalam hal produk simpanan. Pandangan mereka ini saya maklumi karena paradigma mereka yang masih berpikir dengan cara pandang bank konvensional, sehingga mereka memandang bank syariah dengan kacamata bank konvensional. Dan inilah susahnya, maka dari itu untuk menghilangkan citra negatif yang sudah terlanjut tertanam tersebut, ada baiknya kalau perbankan syariah di tanah air ini membuat produk simpanan baru yang memakai prinsip wadiah/titipan, yang tidak ada nisbahnya. Produk ini bisa diperuntukkan bagi sebagian masyarakat yang masih ngotot berpandangan bahwa tabungan/deposito mudharabah sebagai bentuk riba. Inilah saran saya……..

Kenyataan di atas tentang adanya penyimpangan syariah dalam bank syariah, adalah saya maksudkan sebagai bahan perenungan bagi kita semua dan para praktisi bank syariah pada khususnya. Terlepas dari semua penyimpangan tersebut, tentunya kita semua harus maklum bahwa semua ini adalah memerlukan proses, yang sangat tidaklah mudah seperti membalikkan tangan dalam merubah dari sistem konvensional ke syariah 100 %. Apa yang saya tuliskan hendaknya sekali lagi semoga dapat menjadi perenungan dan wahana instrospeksi agar kita tidak berpuas diri dengan segala yang ada tanpa berusaha memperbaiki untuk arah yang lebih baik. Semoga Allah memudahkan langkah kita dalam meraih ridho-Nya.

Wallahu a’lam.....



[1] Sebagai contoh dengan sistem syariah yang sudah tersistem dan terpola dengan jelas dan pasti adalah pada Bank BTN Syariah dengan program pembiayaan pemilikan rumah yang bekerjasama dengan developer atau semacam KPR pada bank konvesional, dan pemilikan sepeda motor/mobil yang bekerjasama dengan dealer seperti pada finance. Dengan penerapan pembiayaan yang sudah tersistem dan terpola tersebut terbukti lebih menghasilkan transaksi pembiayaan yang syar’i.

[2] Masalah penggunaan metode konversi kredit dari bank konvensional yang menghitung angsuran margin dari pokok plafond, sebagian ulama bahkan telah mengharamkannya dengan tegas, dengan alasan hal inilah yang merupakan hakekat praktek riba pada jaman jahiliyah yang ditentang Rasulullah Saw.


Tidak ada komentar: